Aktivis Senior Muhammadiyah Jakarta: Tim AMIN Harus Mengantisipasi Sindrom Amien Rais
Jakarta, JurnalUtara.com – Kunci kemenangan AMIN terletak pada mampu tidaknya Tim Pemenangan mengatasi Sindrom Amien Rais (Amien Rais syndrome). Hal tersebut disampaikan oleh seorang tokoh aktivis senior Muhammadiyah Jakarta, Farid Idris Nawawi, sore ini, Kamis (16/11/2023) di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat.

“Para pendukung AMIN (red: Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar), khususnya tim pemenangannya jangan terbuai dengan membludaknya massa pendukung yang hadir di setiap even yang diadakan,” ujar Farid Idris Nawawi, yang akrab disapa ‘Bang Farid’.
“Membludaknya masa pendukung di sebuah even belum tentu menggambarkan besarnya dukungan pemilih yang notabene berada di akar rumput atau kampung-kampung. Fenomena ini yang dinamakan sindrom Amien Rais,” lanjut Bang Farid.
Sindrom Amien Rais adalah istilah yang diciptakan oleh analis politik Eep Saefulloh Fatah untuk menggambarkan fenomena popularitas tinggi tetapi elektabilitas rendah seorang tokoh politik di Indonesia. Istilah ini dinamai Amien Rais, mantan pemimpin gerakan reformasi pada tahun 1998 dan pendiri Partai Amanat Nasional (PAN). Terlepas dari ketenaran dan pengaruhnya, Amien Rais hanya berhasil mendapatkan 14,6% dari total suara pemilih pada Pilpres 2004.
Istilah ini kini digunakan untuk merujuk pada calon presiden potensial yang memiliki situasi yang sama seperti Amien Rais, yakni Anies Baswedan, mantan gubernur DKI Jakarta. Menjelang Pilpres 2024, Anies Baswedan secara luas dipandang sebagai pemimpin populer dan karismatik yang memiliki basis dukungan kuat di kalangan ulama, kaum intelektual dan aktivis pro perubahan. Namun, beberapa hasil survey dan analis berpendapat bahwa popularitasnya tidak selalu diterjemahkan ke dalam elektabilitas, terutama di tingkat nasional.
“Sindrom Amien Rais muncul akibat adanya gap (red: kesenjangan) antara perkotaan dan pedesaan. Antara kaum terpelajar dengan msyarakat awam. Elite dengan akar rumput. AMIN harus bisa menjawab tantangan itu, dengan menggerakan rakyat yang benar-benar menginginkan perubahan dari level akar rumput. Karena disitu kompetisi yang sesungguhnya,” jelas Bang Farid.
“Masalahnya adalah siapa yang mau menggerakkan rakyat di bawah ini. Semua sibuk ber-statement di medsos. Bikin deklarasi simpul relawan ini dan itu. Tapi siapa yang bergerak di bawah? Gak ada! Di level kelurahan itu gak seksi. Apalagi TPS. Gak menarik,” lanjut Bang Farid.
Menurut Bang Farid, di AMIN tidak ada bohir atau pendana kuat yang mampu membiayai lingkup nasional bahkan untuk lingkup kota atau kabupaten hingga ke TPS.
“Di AMIN gak ada oligarki. Gak ada Taipan. Tapi kalau hanya untuk lingkup kecamatan atau kelurahan saya yakin banyak yang mampu. Banyak sekali. Tapi itu tadi. Gak menarik… masih banyak yang berfikir ‘Apa itu? Masa saya cuma di taruh di tingkat kelurahan?’ Nah ini tantangannya,” ujarnya.
Menurut Bang Farid, harus dibangun mekanisme komunikasi yang efektif antara Anies dan Muhaimin dengan komunitas relawan lokal tingkat kecamatan dan kelurahan. Ada 7.264 kecamatan se-Indonesia. Menurutnya, AMIN harus bisa membangun direktori 7.264 penanggung jawab pemenangan di tiap kecamatan itu. Dan mereka terkoneksi langsung dengan capres maupun cawapres.
“Harus ada sistem pengakuan dan penghargaan terhadap kinerja para penanggung jawab –apalah namanya— di tingkat kecamatan dan kelurahan yang langsung terhubung dengan paslon. Saya rasa teknologi informasi dan komunikasi saat ini cukup memungkinkan,” imbuh Bang Farid.
“Terakhir saya himbau kepada para pendukung dan donatur agar menghilangkan ego eksistensial, percayalah kalaupun paslon sulit melihat kita. Allah SWT tidak akan pernah salah mencatat, siapa-siapa yang berjuang demi perubahan Indonesia yang lebih baik. Kalau kita semua ikhlas hanya mengharap ridho-Nya semata, maka insyaallah perubahan akan segera terwujud. Aamiin,” tutupnya.