Jakarta, Jurnalutara.com – 16 Juni 2025 – Gugum Awit Ramdhani, pengamat politik Timur Tengah sekaligus aktivis 98 dari KOMRAD (Komite Aksi Demokrasi), menyatakan bahwa serangan militer Israel ke Iran adalah pemicu utama meledaknya konflik bersenjata terbuka yang kini mengancam perdamaian kawasan dan kestabilan global. Ia menilai dunia internasional terlalu permisif terhadap agresi Israel, yang telah melampaui batas hukum internasional dan menciptakan penderitaan massal di kedua pihak.
“Serangan Israel ke lebih dari 200 titik strategis Iran, termasuk fasilitas nuklir sipil dan rumah warga, bukan tindakan membela diri, melainkan agresi militer sepihak yang melanggar Piagam PBB,” tegas Gugum dalam pernyataan resminya di Jakarta.
Serangan yang disebut Israel sebagai “Operasi Rising Lion” menewaskan sedikitnya 224 warga Iran dan melukai lebih dari 1.200 orang lainnya, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Iran. Fasilitas vital seperti pusat nuklir Natanz, gudang rudal, hingga infrastruktur energi disasar secara membabi buta, memicu kerusakan besar dan kekacauan di dalam negeri Iran.
Menurut Gugum, dalih Israel bahwa Iran “nyaris” memiliki senjata nuklir tidak bisa dijadikan pembenaran untuk meluncurkan serangan pre-emptive. “Berdasarkan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), meskipun ada peningkatan persediaan uranium Iran, belum ada bukti valid bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir dalam waktu dekat,” ujarnya.
Di sisi lain, Gugum menilai respons Iran adalah bentuk perlawanan atas invasi militer yang terang-terangan dan tidak proporsional. “Kita tidak bisa menyamakan pelaku kekerasan dengan korban. Iran merespons setelah wilayahnya dihantam dan rakyatnya jadi korban.”
Gugum menyoroti bahwa akibat dari agresi Israel ini, dunia kini menghadapi sejumlah konsekuensi serius:
Harga minyak dunia melonjak lebih dari 10%, memicu tekanan ekonomi global terutama bagi negara berkembang. Selat Hormuz sebagai jalur vital energi terancam lumpuh.
Pasar keuangan terguncang, indeks Dow Jones anjlok hampir 2%, sementara mata uang safe haven seperti franc Swiss dan emas melonjak.
Ketegangan geopolitik meningkat tajam, dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis yang memilih membela Israel, sementara Rusia dan China menyerukan de-eskalasi tanpa solusi konkret.
Gugum juga mengecam standar ganda negara-negara Barat yang selalu membenarkan setiap langkah Israel, namun dengan cepat mengecam negara lain ketika bertindak serupa.
“Kalau negara selain Israel melakukan serangan seperti itu, pasti sudah dikutuk habis dan dikenai sanksi. Tapi ketika Israel menyerang Iran, dunia malah membela. Ini bentuk kemunafikan global yang harus dilawan,” tegas Gugum.
Ia menambahkan bahwa kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam mengutuk serangan Israel menunjukkan lemahnya peran lembaga internasional ketika berhadapan dengan kekuatan geopolitik yang didukung Amerika Serikat.
Menutup pernyataannya, Gugum menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil posisi aktif, netral dan berani menyuarakan keadilan di forum-forum internasional, terutama dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan PBB.
“Indonesia jangan ikut-ikutan narasi Barat yang bias. Kita harus konsisten membela kedaulatan negara dan hak-hak rakyat sipil. Penyerangan Israel tidak bisa dibenarkan, dan ini saatnya negara-negara Global South menunjukkan solidaritas terhadap korban agresi,” pungkas Gugum.