ArtikelOpiniSorotan

[Opini] HUT 498 Jakarta Yang Global: Menakar Trisakti di Tengah Transformasi Kota

Shares

Oleh : M. Abu Bakar MBS, SE., MH.

Jakarta, Jurnalutara.com – Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, telah melangkah jauh menuju modernitas dan globalisasi. Namun, di balik gemerlap gedung pencakar langit dan berbagai kemajuan teknologi, budaya Betawi tampak terpinggirkan dan terjebak dalam nostalgia yang tak kunjung usai.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2023, populasi asli Betawi yang tinggal di Jakarta hanya sekitar 7% dari total penduduk kota ini, jauh menurun dibandingkan beberapa dekade lalu yang mencapai sekitar 30%. Penurunan ini menandakan perpindahan dan asimilasi budaya yang membuat budaya Betawi semakin terpinggirkan.

Budaya Betawi yang seharusnya menjadi identitas kota, seringkali hanya diulang-ulang dalam bentuk festival atau acara hiburan tanpa substansi. Sementara itu, Jakarta terus beradaptasi dengan tren global, menjadikan kota ini pusat bisnis, seni, dan inovasi. Sayangnya, menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Jakarta pada tahun 2022, hanya 15% dari generasi muda Betawi yang aktif melestarikan budaya asli mereka, sementara 70% lebih memilih budaya populer dan gaya hidup global.

Terlalu sering kita mendengar cerita yang sama tentang Betawi: ondel-ondel, kerak telor, dan lenong. Namun, di mana inovasi dan interpretasi baru dari budaya ini? Ketika Jakarta bertransformasi menjadi “Daerah Khusus” kota global dan budaya Betawi tetap terjebak dalam waktu, seolah-olah hanya ditujukan untuk kepentingan pariwisata semata.

Jika kita menilik gagasan Trisakti yang dikemukakan oleh Bung Karno—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan—maka kita bisa melihat bahwa budaya Betawi hari ini kurang mendapat tempat yang layak dalam kerangka pembangunan kota. Dalam aspek politik, belum terlihat keberpihakan yang kuat dari kebijakan publik untuk melibatkan masyarakat Betawi secara aktif dan setara dalam pengambilan keputusan strategis kota. Hal ini mencerminkan ketidakhadiran kedaulatan budaya lokal dalam diskursus politik perkotaan.

Abu Bakar MBS menyampaikan kegelisahan “Betawi bukan seputar kebudayaan saja, tempat pusatnya peradaban, hanya saja saat ini belum diberikan ruang yang ramah sebagai tuan rumah seperti Papua, Aceh, dan Jogja” Komentar ini memperkuat kritik bahwa kota ini belum memberi posisi sentral kepada Betawi sebagai pemilik sejarah dan identitas Jakarta.

‎Hal ini menciptakan kesan bahwa Betawi tidak mampu “berdikari dalam politik”, beradaptasi dengan perkembangan zaman. Alih-alih menjadi bagian dari narasi modern Jakarta Kota Global, ini justru terasing dan dipandang sebelah mata.
Perlu diingat ada amanah undang – undang Daerah Khusus Jakarta yang harus mengkongkritkan beberapa pasal salah satunya Aglomerasi, Dana Abadi Kebudayaan Betawi & Lembaga Adat Betawi harus mampu diberikan dalam kepemimpinan Eksekutif dan Legislatif di Provinsi Khusus ini.

Dari sisi ekonomi, budaya Betawi belum menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri. Menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada tahun 2022 mencapai 5,02%, sementara sektor pariwisata yang mengandalkan budaya lokal, termasuk Betawi, hanya menyumbang kurang dari 1% dari total PDRB Jakarta.

Saya teringat Sejarawan dan Tokoh Betawi, alm. Babe Ridwan Saidi, pernah menekankan hal ini dengan tajam: “Kalau budaya dijadikan alat ekonomi, jangan hanya objek tontonan. Harus ada ekosistem ekonomi yang menghidupkan pelakunya”. Pesan ini menjadi kritik terhadap pendekatan parsial yang selama ini diterapkan, di mana budaya hanya dimanfaatkan sebagai pelengkap acara seremonial tanpa memperhatikan daya hidup komunitas pelestari budaya itu sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun budaya Betawi dipromosikan, kontribusinya terhadap ekonomi kota sangat minim. Budaya lokal belum mampu menjadi tulang punggung ekonomi kreatif karena kurangnya dukungan inovasi dan hilangnya kemandirian ekonomi masyarakat Betawi.

Sementara itu, dalam dimensi kebudayaan, kepribadian Jakarta yang seharusnya mencerminkan kekayaan dan karakter Betawi semakin kabur.


Tokoh budaya Yahya Andi Saputra menegaskan bahwa “Budaya Betawi bukan sekadar warisan, tapi fondasi jati diri Jakarta. Jika tidak diberi ruang untuk tumbuh dan beradaptasi, maka Jakarta akan kehilangan akarnya sendiri”.
Pernyataan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk menciptakan ruang yang memungkinkan budaya Betawi berkembang secara alami dalam arus pembangunan kota, bukan sekadar dipajang sebagai dekorasi budaya.

Budaya Betawi cenderung dikemas secara dangkal, hanya sebagai tontonan di tengah denyut modernitas. Kepribadian dalam kebudayaan seharusnya tercermin dalam cara hidup, nilai, dan ekspresi masyarakat sehari-hari, bukan hanya dalam “bentuk seremoni musiman” .

Hal ini menciptakan kesan bahwa Betawi tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Alih-alih menjadi bagian dari narasi modern Jakarta, budaya ini justru terasing dan dipandang sebelah mata. Ketidakmampuan untuk berinovasi dan berdikari dalam politik menjadi “Tuan Rumah” membuat Betawi terkesan terjebak dalam Penjara Kota Global.

Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan warisan Budaya, Ekonomi & Politik tetapi juga mendorong pengembangan yang relevan dan kontemporer. Penerapan prinsip Trisakti dalam pengelolaan kota dapat menjadi landasan untuk mengangkat kembali Betawi bukan sebagai identitas otentik Jakarta yang hidup dan berdaya tetapi menjadi Tuan Rumah Di Tanahnya Sendiri, seperti acuan dari Undang-Undang 2 Tahun 2024 Tentang Daerah Khusus Jakarta yang harus di wujudkan segera dalam kepemimpinan Gubernur & DPRD Provinsi Jakarta periode ini. Jika tidak, Betawi akan terus menjadi simbol stagnasi di tengah kemajuan Jakarta yang pesat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Shares

Masuk

Daftar

Setel Ulang Kata Sandi

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email, anda akan menerima tautan untuk membuat kata sandi baru melalui email.