[Opini] Bhayangkara: Antara Romantisme dan Realita
Oleh: Agung Nugroho, Pemaen Bola Kampung
Jakarta, Jurnalutara.com – Di tengah Peringatan Hari Bhayangkara, kita diajak merenung: masihkah hukum berdiri sebagai pelindung rakyat, atau justru sebagai bayang-bayang kekuasaan?
Hari ini, sebuah tulisan berjudul “Dekonstruksi Bhayangkara: Dari Majapahit ke Republik” beredar luas dan menyentuh banyak orang. Ditulis oleh Firman Tendry Masengi, artikel tersebut mencoba menelusuri sejarah Bhayangkara dari masa Majapahit, era VOC, hingga Republik hari ini (https://jakartasatu.com/2025/07/01/dekonstruksi-bhayangkara-dari-majapahit-republik/)
Narasi yang dibangun kuat dan puitis: Bhayangkara dulu adalah penjaga dharma (nilai-nilai luhur), kini berubah menjadi alat kekuasaan. Namun di balik kekuatan retorika itu, terdapat sejumlah romantisasi sejarah dan generalisasi, yang perlu kita bahas jernih agar tak menyamarkan realita.
Majapahit: Bhayangkara Itu Bukan Polisi
Dalam tulisan tersebut, Bhayangkara masa Majapahit digambarkan sebagai penegak keadilan spiritual, menjunjung hukum Kutaramanawa Dharmasastra, dan mengamalkan “tat twam asi”.
Secara historis, Bhayangkara adalah pengawal pribadi raja, bukan aparat sipil yang melayani masyarakat seperti polisi zaman sekarang. Kitab Kutaramanawa memang ada, tapi penggunaannya terbatas di kalangan istana. Dan “tat twam asi” lebih merupakan filosofi spiritual, bukan prinsip operasional hukum kerajaan.
Referensi:
- Agung Dwi Hartanto, Hukum dan Kekuasaan di Majapahit
- G. Coedès, The Indianized States of Southeast Asia
VOC: Tidak Ada Bhayangkara di Kolonial
Penulis menyebut bahwa VOC mewarisi dan memelintir Bhayangkara menjadi alat represi kolonial. Ini klaim yang kurang tepat. VOC membentuk korps kepolisian sendiri, seperti Korps Marechaussee dan Inlands Politie, tetapi tidak pernah memakai istilah Bhayangkara. Koneksi historis antara VOC dan Majapahit dalam konteks ini tidak didukung bukti akademik.
Referensi:
- Remco Raben, Policing the Colonial State in Indonesia
- Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries
Republik: Kritik yang Masuk Akal
Setelah Indonesia merdeka, struktur hukum kolonial — termasuk KUHP Belanda — memang tetap digunakan. Kritik bahwa aparat sering lebih berpihak kepada kekuasaan daripada rakyat juga relevan. Kasus kekerasan terhadap demonstran, kriminalisasi aktivis, dan impunitas pelanggaran HAM tak bisa dipungkiri.
Laporan dari Komnas HAM dan Amnesty International mencatat beragam pelanggaran tersebut, khususnya dalam konteks demonstrasi publik dan konflik agraria.
Referensi:
- Komnas HAM, Laporan Tahunan 2021
- Amnesty International, Repression Against Protest in Indonesia (2020)
Hoegeng: Inspirasi, Tapi Tak Bisa Sendiri
Jenderal Hoegeng layak disebut legenda. Ia dikenal sebagai polisi jujur yang berani melawan korupsi dan tekanan kekuasaan. Namun menjadikan Hoegeng satu-satunya simbol ideal bisa menciptakan persepsi keliru: seolah hanya individu yang bisa menyelamatkan institusi.
Kita butuh lebih dari sekadar figur teladan. Kita butuh reformasi sistemik yang melahirkan banyak Hoegeng, bukan hanya satu.
Referensi:
- Ramadhan K.H., Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
- Majalah Tempo, Hoegeng, Polisi Jujur Terakhir
Agar Bhayangkara Tak Lagi Jadi Bayang-Bayang
Tulisan Firman Tendri punya pesan moral yang kuat, tapi kritik yang membangun tetap perlu berpijak pada data dan sejarah yang presisi. Membawa Bhayangkara kembali ke jalan keadilan tak bisa lewat nostalgia, tapi lewat keberanian memperbaiki sistem hukum, memperkuat pengawasan, dan membuka ruang partisipasi publik dalam reformasi kepolisian.
Karena Bhayangkara sejati bukan yang gagah memegang senjata, tapi yang berani berkata “tidak” saat kekuasaan melenceng dari nurani.