[Opini] Kang Kholid dan Paradigma Baru Pejabat
Oleh: Aldi Mansur (Bendahara Umum/MD KAHMI Jakarta Utara)
Jakarta, JurnalUtara.com, 29 Januari 2025 – Beberapa pekan terakhir, layar gawai kita dipenuhi oleh sosok Kang Kholid, seorang nelayan dari Desa Kronjo, Serang, Banten. Ia mencuri perhatian publik dengan keberaniannya menentang korporasi besar terkait proyek pagar laut sepanjang 30 km.
Dalam berbagai kesempatan, terutama di forum diskusi salah satu televisi swasta, Kang Kholid tampil sebagai orator ulung. Dengan kefasihan berbicaranya, ia mampu menguraikan argumentasi tajam untuk mengonfrontasi lawan diskusinya. Lebih dari sekadar aktivis lokal, ia menunjukkan bagaimana seorang rakyat kecil dengan bekal ilmu dan keberanian (syaja’ah) bisa melawan kepentingan korporasi yang menggerogoti sumber penghidupan nelayan.
Penyampaian Kang Kholid begitu sederhana, tetapi mengandung substansi mendalam. Ia mengubah ruang diskusi menjadi semacam ruang kuliah terbuka, di mana pengetahuan dan keberanian berkelindan dalam semangat perjuangan maslahat. Sosoknya mengingatkan kita pada pelaut ulung dalam tradisi Islam seperti Ibnu Batutah dan Ibnu Majid, yang tak hanya mengandalkan keahlian navigasi, tetapi juga ilmu dan keberanian dalam menghadapi tantangan di lautan luas.
Meminjam ungkapan René Descartes, cogito ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Namun, jika diterjemahkan dalam konteks pejabat hari ini, maka bunyinya berubah menjadi: “Jika masalah belum viral, maka itu bukan tanggung jawabku. Jika masalah sudah viral, maka lempar tanggung jawab adalah tugasku.”
Publik pun terusik dengan logika pemerintah dalam kasus ini. Keberadaan sertifikat laut yang digunakan untuk melegitimasi pembangunan pagar laut seolah menelanjangi kedaulatan negara. Bagaimana mungkin, di tengah pusaran kekuasaan, hak rakyat atas laut bisa dirampas begitu saja?
Konstitusi kita sudah jelas. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”Setahu saya, pasal ini belum diubah atau diamandemen.
Saya awalnya skeptis tentang respons negara dalam kasus ini. Namun, keputusan Presiden untuk memerintahkan pembongkaran pagar laut menjadi sedikit angin segar. Negara sering kali kalah dan abai dalam menghadapi korporasi besar. Sejarah mencatat banyak contoh ketika sebuah negara justru bertekuk lutut di hadapan kekuatan modal. Kita tentu berharap, Indonesia tidak menjadi bagian dari kisah kelam tersebut.
Saya juga teringat pidato Prabowo Subianto dalam Rakernas salah satu ormas keagamaan pada Pilpres 2019. Ia dengan lantang mengusung slogan “Make Indonesia Great Again”. Jika dulu itu hanya kata-kata, kini saatnya membuktikan makna sejatinya.
Teriring doa untuk mereka yang terus mencintai bangsa ini dalam senyap. Mereka yang bekerja tanpa sorotan kamera, mencerdaskan rakyat tanpa mengharapkan sanjungan, dan menjaga negeri ini dengan segala keterbatasan***