Sandi: Gak Perlu Takut Gaduh, Kalau Bisa Mengungkapkan Kebenaran
Jakarta, JurnalUtara.com – Kontroversi pernyataan Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo soal intervensi presiden dalam kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto, masih terus bergulir. Setelah pernyataan Direktur Eksekutif Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy dan Dosen Hukum Universitas Trisakti Radian Syam dimuat beberapa portal berita (baca: jppn.com dan rmol.com tertanggal 2/12/2023), kini giliran seorang akademisi, Sandi Suryadinata, menanggapi pernyataan mereka.

“Hahahaha… Emang apa yang salah dengan kegaduhan? Pelabuhan Priok itu kalau gak gaduh ekonomi macet… hahaha” jawab Sandi sambil tertawa ngakak yang menjadi khas akademisi STIE Tamansiswa ini, ketika diminta tanggapan atas pernyataan keduanya oleh Jurnal Utara di kediamannya kemarin malam (Sabtu 2/12/2023).
“Gaduh itu bagus… Kalau ekonomi, gaduh lah kalian di pelabuhan, terminal, pasar, bursa efek… agar tidak gaduh keroncongan perut rakyat yang lapar.. Bidang hukum, gaduh lah kalian di ruang-ruang pengadilan, supaya tenang di dalam hati rakyat yang meminta keadilan dan kebenaran,” jelas Sandi.
Menurut Sandi, jangankan hanya gaduh, bahkan menderitapun kita harus bersedia demi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Sangat disayangkan bila ada intelektual yang cara berfikirnya seperti penguasa yang otoriter atau seperti pelacur pesanan penguasa.
“Itu kan gaya penguasa otoriter. Kill the messenger. Mereka membunuh si pembawa pesan kebenaran. Menuduhnya sebagai pembuat kegaduhan, mengancam dengan UU ITE –yang ini tipikal Indonesia banget–, merusak kredibilitas narasumber, dan sebagainya,” papar Sandi.
“Kalau itu keluar dari mulut politisi pro kekuasaan, bisa dimaklumi. Sayangnya sekarang ini banyak intelektual pelacur yang bicara asal sesuai pesanan. Tapi ya itu juga konsekuensi sebuah demokrasi. Sah-sah saja memilih menghamba pada kekuasaan. Seperti sah juga untuk melawan kekuasaan,” imbuhnya.
Menurut Sandi, bangsa ini tak perlu takut gaduh, selama bisa mengungkapkan kebenaran. Sandi mengambil contoh peristiwa kemerdekaan RI. Para proklamator membuat kegaduhan dengan memproklamasikan kemerdekaan. Mereka mengungkapkan kebenaran bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan.
Statement proklamasi itu membuat bangsa kita terlibat kedalam perang melawan tentara sekutu. Begitu besarnya kegaduhan yang dibuat para proklamator. Tapi hasilnya adalah bangsa Indonesia merdeka.
“Jadi.. Gaduh lah sekarang, agar tidak perlu digaduhkan oleh anak cucu kita nanti. Kalau memang harus, gak diharamkan bergaduh selama masih di koridor konstitusi. Mari kita tebus ketenangan anak-cucu kita nanti, dengan bergaduh sekarang,” kata Sandi.
DPR Harus Ajukan Hak Angket
Terkait masalah pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dan mantan Menteri ESDM Sudirman Said, Sandi menyatakan hal tersebut sangatlah positif bagi bangsa ini. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Apalagi situasinya tepat menjelang Pemilu 2024.
“Pernyataan Pak AR dan Pak SS tidak bisa dituduh tendensius. Karena mereka pernah menyampaikan kepada pihak-pihak lain sebelum ini. Dan itu diakui kebenarannya. Pak Novel Baswedan dan Saut Situmorang (red. mantan penyidik dan mantan wakil ketua KPK) sudah membenarkan adanya peristiwa itu. Bukan cuma mereka, ada juga Pak Alex Marwata pimpinan KPK aktif yang sekarang mengungkapkan bahwa benar Pak AR pernah bercerita. Jadi gak ada itu tendensius karena tahun politik,” papar Sandi
“Menjelang pemilu dimana rakyat akan membuat keputusan terkait nasib bangsa ke depan, maka rakyat perlu informasi seterang-terangnya tentang siapa orang baik dan siapa yang bajingan. Rakyat perlu tau apakah Jokowi itu orang baik yang membela rakyat atau justru seorang bajingan demokrasi yang hanya membela kepentingan dinastinya dan oligarki,” tegasnya.
Agar informasi-informasi di ruang publik tidak menjadi liar, menurut Sandi, hal-hal tersebut harus segera disikapi oleh DPR RI untuk mendapatkan kebenarannya. DPR sebaiknya menyampaikan hak angket terkait isu-isu internvesi presiden ke ranah hukum.
“Dengan maraknya informasi publik tentang intervensi presiden ke ranah hukum, yang seharusnya independen, sebaiknya DPR bertindak. Supaya tidak jadi liar, DPR harus mengambil-alih dengan menggunakan Hak Angketnya,” usulnya menutup diskusi.