MELAWAN POLITIK UANG PADA PEMILU SEBAGAI PRIORITAS STRATEGIS SOSIAL MASYARAKAT MADANI
OLEH: SANDI SURYADINATA
- Fenomena NPWP, “nomer piro, wani piro”, di Indonesia
Pada skor indeks persepsi korupsi atau corruption perceptions index (CPI) yang dilakukan oleh lembaga Transparency International, Indonesia turun tajam menjadi 37, dari 40 pada tahun sebelumnya 2019, membuat peringkatnya turun 17 poin, dari 85 pada 2019 menjadi 102 di antara 180 negara (https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/nzl)) . Skor CPI Indonesia memang tumbuh sangat lambat, bahkan stagnan terutama pada dua dekade terakhir. Korupsi selalu selalu merajalela di negeri berpenduduk muslim terbesar dunia ini.
Peneliti Moch Edward Trias Pahlevi (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan Azka Abdi Amrurobbi (Universitas Gajah Mada) menilai korupsi telah menjadi suatu komoditas politik. Ketika berlangsungnya kampanye partai politik ataupun presiden dan wakil presiden menjelang pemilu, pemberantasan korupsi selalu menjadi sebuah tema kampanye (Pahlevi & Amrurobbi, 2020). Boleh dibilang seluruh kandidat mem-branding diri mereka sebagai seorang musuh korupsi atau koruptor. Tetapi berbagai narasi anti korupsi yang begitu ramai ketika kampanye akan langsung menjadi sunyi begitu pemilu usai. Bahkan kebijakan publik yang kemudian lahir, bukan saja jauh dari yang dijanjikan, bahkan malah sebaliknya.
Korupsi terjadi sesungguhnya karena proses terpilihnya pemimpin melalui pemilu yang rendah integritas. Para pemimpin dan politisi yang tidak memiliki integritas adalah hasil pemilu yang tidak berintegritas. Biasanya dengan cara menyuap pemilih (voter-bribe) atau praktik jual beli suara (vote-buying). Praktik yang secara umum illegal, dibenci secara sosial dan diharamkan oleh semua agama ini terjadi di banyak negara. Praktik politik uang melanggengkan korupsi di seluruh system politik negara manapun. Di Indonesia sendiri disebut praktik “nomer piro, wani piro” disingkat NPWP. Caleg nomer berapa, berani bayar berapa.
Istilah politik uang memang beragam pemakaiannya, menurut Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (2015), bahwa istilah politik uang telah secara luas digunakan untuk menggambarkan praktik-praktik seperti telah disebut di atas sejak demokratisasi di Indonesia bermula pada akhir 1990- an. Kendati istilah ini telah digunakan secara umum, definisi dari istilah tersebut masih kabur. Semua pihak menggunakan istilah ini dengan definisi mereka masing-masing. Di awal Reformasi, sebagai contoh, orang seringkali menggambarkan praktik suap di kalangan lembaga legislatif—saat itu pemilihan kepala daerah masih diselenggarakan oleh DPRD—sebagai salah satu bentuk praktik politik uang. Isti- lah yang sama juga digunakan untuk menggambarkan prak- tik pembelian suara dalam konteks kongres partai politik. Bahkan, istilah tersebut juga digunakan untuk praktik korupsi politik yang lebih bersifat umum, seperti keter- libatan anggota lembaga legislatif dalam penggelapan uang dari proyek-proyek pemerintah atau penerimaan suap dari pengusaha. Namun demikian, kurang lebih satu dekade setelahnya, istilah politik uang mulai digunakan dalam konteks yang lebih sempit. Saat ini, orang menggunakan istilah politik uang untuk menggambarkan praktik yang merujuk pada distribusi uang (uang tunai dan terkadang dalam bentuk barang) dari kandidat kepada pemilih di saat pemilu (Aspinall & Sukmajati, 2015, p. 2-3).
Indonesia adalah negara dengan peringkat politik uang terbesar nomer 3 di dunia dengan proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1% (Muhtadi, 2019). Dan yang lebih memprihatinkan adalah persepsi publik yang semakin permisif terhadap praktik politik uang dari pemilihan ke pemilihan. Praktik menyuap pemilih umum terjadi tidak hanya dalam pemilu di berbagai tingkat, mulai dari pilpres, pilkada, pileg, pilkades, pemilihan anggota LMK, sampai pemilihan ketua RW dan RT, tetapi juga pada proses demokrasi internal organisasi partai politik dan organisasi pemuda, seperti pada saat pemilihan ketua umum. Dimana ada pemilihan, disitu ada penyuapan ada politik uang.
Sebagaimana hasil riset dan monitoring yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) di delapan daerah memperlihatkan sebagian besar pelanggaran berkaiitan dengan politik uang. Pelakunya tidak hanya kandidat/tim sukses/partai dengan pemilih, tapi juga kandidat/tim sukses/partai dengan penyelenggaran seperti panitia pengawas, PPK (ICW, 2014).
Bila awalnya inisiatif datang dari calon yang ingin dipilih, maka sekarang pemilih (setidaknya perantara mereka) yang aktif menawarkan suaranya. Yang mana mereka (pemilih) akan meminta imbalan jika partai atau calon tertentu akan meminta suaranya. Sikap atau prilaku pemilih tersebut terekam dalam riset Founding Fathers House (FFH) di Brebes 2011 dan 2016, DKI Jakarta 2012, Mojokerto 2015, Lamongan 2015, Jawa Timur 2017 dan 2018, Sulawesi Tenggara 2018 dapat disimpulkan bahwa masyarakat (baca: pemilih) begitu permisif dengan politik uang .
Peneliti, M. Jeffri Arlinandes Chandra dan Jamaludin Ghafur, berpendapat bahwa fenomana money politic ini seolah-olah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah baik oleh para kandidat (pemberi) maupun oleh masyarakat (penerima) karena hal ini dianggap sebagai sesuatu yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Sikap toleran publik terhadap politik uang dalam pemilu ini tentu sudah pada level mengancam demokrasi Indonesia. (Chandra & Ghafur, 2020, p. 53). Pertanyaan adalah seberapa berbahayakah praktik politik uang? Apa yang harus dilakukan untuk menyetop praktik politik uang?
- Seberapa berbahayakah politik uang?
Menurut Thierry Uwamahoro, seorang manajer programsenior the International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam halaman web Young African Leaders Initiative (n.d.), ”When a candidate chooses to pay for support, rather than compete fairly for votes, they show a disregard for democratic norms and a willingness to use illegal means.” Ketika seorang kandidat yang memilih untuk membayar dukungan suara, daripada bersaing secara benar untuk mendapatkan suara, mereka menunjukkan pengabaian terhadap norma-norma demokrasi, moral agama dan kecenderungan untuk menggunakan cara-cara illegal untuk memperoleh yang diinginkannya. Bagaimanapun mereka me-make up dirinya sebagai seorang yang bermoral dan berakhlak, politisi seperti ini bisa dipastikan tidak memiliki integritas moral apalagi akhlak.
Selain itu, menyuap pemilih sangat berdampak buruk bagi demokrasi dan kehidupan masyarakat, sebagai berikut:
- Politik uang jarang merupakan tindakan yang terisolasi. Praktik menyuap pemilih pada pemilu berdampak sistemik yang akhirnya akan melanggengkan korupsi di seluruh sistem politik. Jika pengalaman para politisi terpilih menunjukkan bahwa menyuap adalah cara efektif (sukses) selama pemilihan, maka tidak ada alasan untuk tidak menggunakan strategi itu di bidang pemerintahan lainnya.
- Secara garis besar, politik uang menghambat proses demokrasi dengan mengganggu penilaian warga negara untuk secara bebas dan jernih menentukan siapa yang akan mewakili mereka dan kepentingan mereka. Hal ini dapat mengakibatkan kandidat dengan kantong terdalam memenangkan pemilihan, daripada kandidat yang paling baik melayani konstituennya. Idealnya, pemilu menciptakan “kontrak sosial” antara kandidat dan konstituen yang memberikan suara dengan anggapan bahwa kandidat akan memerintah sesuai dengan harapan warga.
- Politik uang dapat menyebabkan pemerintahan menjadi buruk, karena kemampuan warga untuk meminta pertanggungjawaban pejabat yang mereka pilih menjadi lemah. Jika seorang kandidat percaya bahwa semua yang perlu mereka lakukan untuk terpilih adalah membayar pemilih dan pejabat pemerintah, mereka tidak akan memiliki rasa tanggung jawab terhadap isu-isu yang menjadi perhatian konstituen mereka.
- Politik uang menghukum calon potensial yang berada pada posisi ekonomi yang kurang menguntungkan. terutama perempuan dan politisi berdompet tipis. Khususnya bagi bakal calon yang tidak memiliki kemampuan finansial kuat akan menghadapi kesulitan bahkan ketika masih dalam tahap seleksi internal partai. Ketua partai cenderung lebih memilih kandidat yang kuat finansialnya, bagaimanapun kualitasnya.
- Menyuap pemilih merusak kredibilitas lembaga politik, pembelian suara menghalangi calon pemimpin politik yang berintegritas mencalonkan diri karena hal itu menunjukkan bahwa uang suaplah yang memenangkan pemilu, bukan ide atau pengalaman. Akibatnya lembaga politik dikenal masyarakat sebagai lembaga tempat berkumpulnya orang-orang tukang suap menyuap. Sehingga keputusan publik menjadi tidak efektif karena rendah kepercayaan publik.
- Menyuap pemilih akan membentuk nilai moral baru atau “new normal”, bahwa menyuap dan menerima suap adalah hal yang sah dan dapat dibenarkan. Nilai moral ini akan terbawa di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, sehingga korupsi akan semakin merajalela. Masyarakat akan menghalalkan segala bentuk suap-menyuap bukan hanya di bidang politik dan pemerintahan, tetapi juga di bidang hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya, Akhirnya kesenjangan ekonomi semakin lebar dan ketidak-adilan semakin nyata. Yang kaya mendapatkan segala yang diinginkan, sementara yang miskin semakin terzalimi (YALI, n.d.).
Akibat praktik politik uang membuat partai politik enggan mencalonkan kader yang berkualitas tapi tidak memiliki uang. Almarhum A.M. Fatwa (Dalam Wahid, A., 2021) mengatakan bahwa politik uang menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (common goods). (Wahid, 2021, p. 92).
Senada dengan pendapat sebelumnya, Chandra dan Ghafur berpendapat politik uang merusak masyarakat melalui tiga hal. Pertama, politik uang akan menghambat calon-calon yang baik untuk ikut dalam kompetisi pemilu. Orang-orang baik yang memiliki kualitas pasti akan merasa keberatan untuk mencalonkan diri dalam pemilu karena mereka merasa tidak ada gunanya. Kedua, Kedua, politik uang akan merusak persaingan yang sehat. Undang-undang pemilu sudah mengatur sedemikian rupa agar pemilu berlangsung secara jujur, adil dan sportif. Politik uang membuat pemilu tidak berlangsung secara jujur, adil, dan sportif.
Ketiga, politik uang menyebabkan rusaknya nilai-nilai demokrasi perwakilan yaitu menjadi salah satu sebab terjadinya keterputusan hubungan antara wakil (pemerintah) dan yang diwakili (rakyat). Karena para wakil terpilih merasa bahwa kemenangan mereka akibat dari uang yang telah dikeluarkannya, maka besar kemungkinan mereka tidak akan mendengarkan aspirasi konstituennya tetapi lebih mendengar kebijakan partai dan lebih mementingkan kepentingan pribadi terutama untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan selama pemilu (Chandra & Ghafur, 2020, p. 58-59).
Menurut Almas Ghaliya Putri Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch(ICW), akibat masifnya politik uang, pemilu 2019 diyakini masih berbiaya tinggi meski negara telah membiayai atau menyubsidi sebagian metode kampanye, seperti iklan dan pemasangan alat peraga. Persoalan ini membuat korupsi politik tetap potensial marak terjadi, sebagaimana pada pemerintahan pada periode sebelumnya (Sjafrina, 2019, p. 48). Korupsi dilakukan baik sebelum maupun sesudah pemilu. Sebelum, untuk membiayai pemenangan pemilu. Sedangkan sesudah pemilu, korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal, berikut untungnya.
Politik uang telah menumbuh suburkan norma sosial materialisme. Uang telah dijadikan sebagai tujuan, sehingga terbentuk menjadi “tuhan kontemporer”. yang sangat berpengaruh (Faisol, 2009). Jelaslah bahwa praktik politik uang sangat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Perlawanan tidak sungguh-sungguh
Jika politik uang terus terjadi maka dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak dan akan merambat ke berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Mohammad Alham (dalam Prasyetjo, M.H., 2020), demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama. Kejahatan politik uang tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, kecuali masyarakat di negeri ini merelakan demokrasi ikut terkubur (Prasetyo, 2020, p. 475).
Walaupun hampir semua ilmuwan politik sepakat bahwa politik uang adalah fenomena berbahaya dan buruk bagi demokrasi, karena bisa mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan, namun upaya menyetop praktik ini tidak pernah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Tidak kurang dari 25.000 artikel dengan keyword “politik uang di Indonesia sangat merusak” dapat ditemukan di Google Cedikiawan, namun tidak ditemukan manajemen stratejik untuk mengubah prilaku pemilih.
Menurut Dian Permata (2019), uang yang dilakukan Bawaslu hanya berbentuk sporadis dan tidak simultan. Kampanye anti politik uang hanya massif pada tahapan pemilu/ pemilukada saja. Selain itu, kampanye anti politik uang tidak didasarkan pada programatik kampanye. Misalnya narasi atau konten terhadap pelbagai segmentasi pemilih. Seharusnya, kampanye anti politik uang dilakukan jauh hari jelang masa tahapan. Dengan begitu, Bawaslu akan memiliki waktu cukup untuk melakukan pendidikan politik kepada pemilih soal kampanye politik uang. Termasuk didalamnya soal bahaya dan ancaman politik uang terhadap masa depan pemilu/pemilukada dan demokrasi (Permata, 2019, p. 44).
Menyetop politik uang belum menjadi prioritas strategis. Kampanye anti politik uang hanya bersifat deklaratif, sekedar menggugurkan kewajiban saja. Kegiatan kampanye anti politik-uang hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) saja. Itupun hanya massif pada saat menjelang pemilu saja. Hal ini menunjukan rendahnya kepedulian elite negeri ini terhadap pesatnya praktik politik uang.
Walaupun narasi tentang bahaya politik uang sering kita dengar pada berbagai seremoni, namun belum terlihat adanya rasa terancam pada diri elite bangsa Indonesia. Dalam hal frekuensi pembahasan di level kemenkopolhukham, kemendagri, bahkan gubernur, isu politik uang kalah jauh dibandingkan isu “radikalisme”, “politik identitas”, atau “kesetaraan gender.” Agenda-agenda pendidikan publik pun lebih mengarah kepada isu-isu tersebut. Hal ini bisa jadi, karena institusi negara, setidaknya institusi legislative, telah terkontaminasi oleh para medioker. Maka sulit berharap pada mereka.
- Melawan politik uang pada pemilu sebagai prioritas strategis sosial masyarakat madani
Melawan politik uang saat ini tidak bisa lagi hanya berupa program kegiatan penyelenggara pemilu. Melawan politik uang harus menjadi sebuah gerakan nasional yang dimotori oleh segenap institusi masyarakat madani (civil society). Gerakan ini harus melibatkan para ulama, ormas keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan, masjid dan gereja. Kampanye anti politik uang juga harus dikelola secara stratejik berdasarkan segmentasi gender, pendidikan, pekerjaan, serta demograpi. Sehingga, isu yang digunakan akan lebih tepat sasaran dan diharapkan memiliki daya penetrasi yang kuat.
Menetapkan perang melawan politik uang sebagai prioritas strategis sosial dapat membantu berbagai pihak yang peduli akan masa depan bangsa dalam menciptakan tujuan jangka panjangnya yang jelas. Memasukkan prioritas strategis sosiall yang jelas dan dapat ditindaklanjuti ke dalam rencana strategis yang dapat membantu menyiapkan panduan langkah demi langkah tentang tindakan yang harus diambil untuk mengubah tujuan ini menjadi kesuksesan yang terukur..
Prioritas strategis sosial menjadi kompas penunjuk arah tujuan. Dengan prioritas strategis, maka masyarakat ini dapat membatasi tujuan yang akan dicapainya, yakni yang hanya mengarah pada tujuan strategisnya. Dengan demikian maka masyarakat Indonesia menjadi lebih focus dan dengan demikian lebih berpeluang untuk mencapainya. Prioritas strategis juga akan membuka peluang kerja kolaboratif, karena adanya kesamaan tujuan.
Penetapan perang terhadap politik uang sebagai prioritas strategis sosial akan membentuk “public awareness” dan merubah pemahaman/persepsi public terhadap praktik politik uang, dimana publik akan menilai pelaku politik uang sebagai pelaku tindak kejahatan. Apabila hal ini tercapai, dimana image negative publik terhadap pelaku politik uang begitu kuat, maka akan dapat ditekan secara maksimal peluang terjadinya politik uang.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan di tengah buramnya integritas pemilu di Indonesia.
Referensi:
Aspinal, Edward dan Sukmajati , Mada (Eds) (2015, Januari), Politik Uang di Indonesia; Patronase dan Klientalisme pada Pemilu Legislatif 2014, Penerbit PolGov, Yogyakarta.
Chandra, M.J. Ali Arlinandes dan Ghafur, Jamaludin (2020). Peranan hukum dalam mencegah praktik politik uang (money politics) dalam pemilu di Indonesia: Upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas. Wajah Hukum Volume 4(1), April 2020, p. 52-66
Faisol, Moh. (2009). Politik Uang Menghegemoni Demokrasi dan Hukum, makalah disampaikan dalam diskusi di Yayasan Permata Hati, 15 Desember 2009.
Indonesian Corruption Watch (2014) Pandauan pemantauan korupsi pemilu,
Muhtadi, B. (2019, Juni). Politik uang dan new normal dalam pemilu paska-orde baru. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 5(1), 55-74. https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.413
Pahlevi, M. E. T., & Amrurobbi, A. A. (2020). Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang Melalui Gerakan Masyarakat Desa. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 6(1), 141-152.
Permata, D. (2019). Politik Uang di Pemilu 2019. Mitos atau Realitas? Jurnal Demokrasi. Edisi April 2019 (4), 37-48. https://www.academia.edu/41787640/Politik_Uang_di_Pemilu_2019_Mitos_atau_Realitas
Prasetyo, M. H. (2020). Kejahatan Politik Uang (Money Politics) Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Terhadap Konstruksi Pemerintahan. Administrative Law and Governance Journal, 3(3), 464-480. https://doi.org/10.14710/alj.v3i3.464%20%20-%20%20480
Sjafrina, A. G. P. (2019). Dampak Politik Uang Terhadap Mahalnya Biaya Pemenangan Pemilu dan Korupsi Politik. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 5(1), 43-53. https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.389
Wahid, Abdul (2021), Kajian islam terhadap problem politik uang dalam pilkada di Indonesia, An-Natiq: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner (1):1 (2021)
YALI (n.d.), What’s the Harm in Selling your Vote?, dikutip pada tanggal 22 Agustus 2021 dari https://yali.state.gov/harm-vote-buying/
Pingback: Sah Berbadan Hukum, JURK Siap Mengutarakan dan Mengkolaborasikan Masyarakat Jakarta Utara. – Jurnal Utara
Pingback: Postur Strategis Di Tengah Kegilaan – Jurnal Utara